Pengadilan Agama Muara Enim berdiri berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI Nomor : 23 Tahun 1960 yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1961. Dalam pembahasan sejarah terbentuknya Pengadilan Agama Muara Enim dan wilayah yurisdiksi serta perkembanganya hingga sekarang tentunya yang kita maksudkan disamping bagaimana tentang Pengadilan Agama, kita tidak bisa terlepas membahas bagaimana pula untuk menyelesaikan kasus-kasus perkara perdata antara orang-orang yang beragama Islam yang terjadi dalam masyarakat dan keluarganya. Oleh karena itu untuk melihat bagaimana perkembangan sejarahnya dapat dilihat dari:
MASA JAJAH
Peradilan Agama di Indonesia mula-mula diatur berdasarkan Ordonantie Stbl. 1882 Nomor 152 tahun 1882 yang mengatur Peradilan Islam untuk daerah Jawa dan Madura. Ordonantie ini kemudian diubah dan ditambah serta disempurnakan pada tahun 1937 dengan Stbl. 1937 Nomor 610 dan 116.
Pada tahun 1925 dibuat IS (Indische stateregeling) Stbl. 1925 Nomor 415 Jo 577 pasal 131 ayat (2) dan ayat (6) memuat dasar aneka warna hukum dan memberikan wewenang kepada para hakim untuk menjalankan hukum menurut hukum yang hidup dalam masyarakat setempat pasal 134 ayat (2) menyatakan bahwa perkara-perkara perdata antara orang-orang yang beragama Islam, apabila hukum yang hidup menentukan yang demikian masuk kekuasaan Peradilan Agama, kecuali ditetapkan lain dalam Ordonantie.
- Road Agama atau Priesterroad sekarang di sebut PA Road Agama bersidang terdiri dari seorang Ketua, yaitu penghulu yang diangkat untuk Landroad dan sekurang-kurangnya tiga dan sebanyak-banyaknya delapan orang ahli agama Islam sebagai anggota. Anggota-anggota ini dalam daerah-daerah Gubernuran di Jawa dan Madura diangkat oleh Residen dan dalam daerah Kerajaan Jawa oleh Gubernur (Stbl 1973 No 116 dan 610 pasal 2). Road Agama baru boleh memberi keputusan bila banyaknya anggota yang bersidang sekurang-kurangya 3 orang, terhitung Ketuanya, apabila suara yang mupakat sama banyaknya dengan suara yang tidak mufakat, maka suara Ketua yang memutuskan (Stbl. 1937 No 116-610 pasal 3).
- Road Agama itu semata mata hanya berkuasa memeriksa perselisihan-perselisihan antara suami isteri yang beragama Islam dan perkara-perkara lain tentang nikah, thalaq, rujuk dan perceraian antara orang-orang beragama Islam yang memerlukan perantara hakim agama dan berkuasa memutuskan perceraian dan menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya thalaq yang digantungkan sudah ada, akan tetapi dalam perselisihan dan perkara-perkara tersebut semua tuntutan-tuntutan pembayaran uang dan pemberian benda-benda atau barang-barang yang tertentu harus diperiksa dan diputuskan oleh hakim biasa kecuali tuntutan tentang mas kawin (mahar) dan tentang keperluan kehidupan isteri yang menjadi tanggungan suami atau (nafkah) yang semestinya diperiksa dan diputus oleh Road Agama.
- Untuk wilayah daerah Sumatera Selatan semasa Hindia Belanda dasar pengambilan keputusan di samping hukum agama berdasarkan peraturan-peraturan yang lama (Adatrecht) dan berpegang (berpedoman) kepada Undang-Undang Simbur Cahaya. Sedangkan anggota sedang majelisnya disebut rapat marga yang terdiri dari pasirah (Versiter Rapat) Penghulu dan Khotib setempat di daerah mana kasus itu terjadi sebagaiman tersebut dalam Undang-Undang Simbur Cahaya.
- Bab.II.Pasal 1: “Di dalam Dusun Pasirah ditetapkan satu Lebai Penghulu yang kuasa hukum, maka Lebai Penghulu itu jadi kepala segala kaum di dalam marganya dan kaun-kaum hendaklah turut perintah Lebai Penghulu itu”
- Pasal 2. : “Di dalam Dusun Pasirah ditetapkan satu atau dua Khotib akan menolong atas Lebai Penghulu“
- Mengenai kasus-kasus yang dirapatkan (disidangkan) oleh Rapat Marga seperti di antaranya :
- Bab.I. Pasal 23 : ”Jika orang punya bini membuat gawie dan lakinya mengadu, perempuan kena hukuman Raja dan dihukumkan satu ekor kerbau pada lelakinya dan dua belas Ringgit pada Pasirah Proatin”
- Pasal 25 : “Jika laki-laki bergubalan atau larikan (kerap gawie) dengan bini orang, ia kena setengah bangun yaitu empat puluh ringgit kepada laki perempuan itu dan lagi kena denda dua puluh empat ringgit pada rapat jika laki-laki bambang perempuan bercerai belum habis dia punya iddah tiga bulan delapan belas hari, jika cerai mati empat bulan sepuluh hari kena dua belas ringgit, enam ringgit pulang pada laki-laki perempuan, enam ringgit pulang pada rapat”
- Pasal 10 : “Jika gadis atau randa bunting tiada nyata siapa yang punya perbuatan, perempuan itu dipajangkan pada Pasirahnya tiada boleh lebih dari tiga tahun lamanya sesudah itu maka perempuan itu pulang pada orang tuanya atau sanaknya serta dengan anaknya dan jika sanak perempuan bunting gelap itu suka bayar dua belas ringgit pada Pasirahnya, perempuan itu boleh pulang pada sanaknya tiada boleh Pasirah tahan”
- BabI.Pasal 11: “Jika perempuan yang bunting gelap tiada nyata siapa punya perbuatan lantas pergi menumpang dirumah orang yang akan beranak maka orang yang punya rumah itu kena tepung satu kambing"
- Di samping hukum-hukum yang tersebut dalam Undang-Undang SIMBUR CAHAYA, rapat marga dapat saja menghukum bahwa lelaki dan perempuan yang berbuat zina itu dihukum motong seekor kerbau untuk sedekah Pedusunan (Keramas) kalau tidak mau hartanya dilelang dan di kawin kedua belah pihaknya, bila tidak punya harta kedua belah pihak lelaki serta perempuan yang berbuat zina dihukum penjara 6 bulan.
- Kalau mereka yang dirapat marga ini tidak puas dan tidak mau terima maka mereka boleh naik banding yang anggota rapat (sidangnya) terdiri dari Tuan Kontler (Bupati), Pasirah dan Penghulu. Sejak Jepang masuk dan menjajah kita maka hukum Undang-Undang SIMBUR CAHAYA serta sangsi-sangsi yang diputus Rapat mukai kendor tetapi ada saja Dusun yang masih fanatik masyarakatnya tetap memperlakukan dan menghukum bagi orang yang berbuat zina dihukum motong kerbau untuk sedekah pedusunan sebagai keramas.
SETELAH MERDEKA
- Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain Badan kehakiman diatur dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24 (1) Susunan dan Kekuasaaan Badan-Badan Kehakiman itu diatur dengan Undang-Undang 1945 pasal 24 ayat (2).
- Badan Peradilan Agama yang dulunya diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 99 baru mendapat kedudukan kuat disisi Undang-Undang pada saat lahirnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 dan kemudian terakhir diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970.
- Pengadilan Agama Muara Enim dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI Nomor : 23 Tahun 1960 yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1961 dan sebagai Ketua pertama yang memerintis adalah Oesman Radjawali yang saat itu bernama Pengadilan Agama Mahkamah Syar’iyah sejak tahun 1961 sampai beliau wapat tahun 1969.
- Untuk mengatasi kepakuman kepemimpinan pada Pengadilan Agama Muara Enim tersebut, maka Kepala Jawatan Peradilan Agama Propinsi Sumatera Selatan (saat ini Pengadilan Tinggi Agama Palembang) mengambil inisiatif mendahului keputusan Menteri Agama RI Mengangkat M. Yusuf Abdullah, BA. selaku PJS Ketua Pengadilan Agama Mahkamah Syari’ah Kabupaten Muara Enim dengan surat Keputusan Kepala Jawatan Pengadilan Agama Propinsi Sumatera Selatan Nomor A/2/1969 tanggal 27 Nopember 1969 terhitung mulai tanggal 1 Desember 1969 mendahului dikeluarkannya ٍٍSurat Keputusan Menteri Agama RI. Nomor B.III/3-c/2220 tanggal 1 Juni 1971 tentang pengangkatan M.Yusuf Abdullah, BA. sebagai Ketua Perngadilan Agama Muara Enim yang difinitif.
- Pengadilan Agama ini memeriksa dan memutuskan perselisihan antara suami isteri yang beragama Islam berkenaan dengan thalaq, rujuk, fasakh, nafkah, maskawin (mahar). Tempat kediaman (makan), mut’ah, wakaf, hibah dan lain-lain yang berhubungan dengan itu, demikian juga memutuskan perkara perceraian dan mengesahkan bahwa syarat thalik sudah berlaku (Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957).
- Kemudian setelah itu berlakunya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, maka kerja Pengadilan Agama lebih berfungsi lagi dimana dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tersebut, jelas disebutkan agar beberapa kasus untuk menyelesaikan, mengajukan permohonan atau gugatan serta disidangkan oleh Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam seperti di antaranya :
- Pasal 3.a.(2) : “Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.
- Pasal.4.a.(1) : “Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan didaerah tempat tinggalnya”.
- Pasal.17.a.(1) : “Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan di dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan”.
- Pasal.39.a.(1) : “Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.
- Pasal.40.a.(1) : “Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan “.
- Pasal.41.a.(0): “Pengadilan dapat diwajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri”.
- Pasal.41.a.(1) : “Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam undang-undang ini ialah :
- Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam.
- Pengadilan Umum bagi yang lainnya.
- Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, maka Pengadilan Agama menjadi kewalahan melayani masyarakat karena di samping volume permohonan/gugatan agak meningkat disebabkan faktor kurangnya tenaga serta sempitnya ruang kantor, lagi pula Pengadilan Agama belum mempunyai kantor tetap hingga kantornya sering berpindah-pindah.
- Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, maka penambahan pegawai mulai diadakan penambahan setiap tahunnya sedang tenaga hakim belum ada penambahannya dan hingga saat itu Pengadilan Agama Muara Enim hanya mempunyai dua orang tenaga hakim tetap (termasuk ketua).
- Untuk Pengadilan Agama Muara Enim tenaga hakim tetap ini sangat perlu penambahannya dengan segera ditangulangi guna memperlancar penyelesaian permohonan/gugatan yang diajukan, sedangkan balai sidangya telah dibangun pada Anggaran Tahun 1978/1979 berlokasi di Jalan Pramuka yang Pimpronya Bapak M. Yusuf Abdullah, BA dan M. Rasyid Ismail, sedang pemborongya CV. Gajah Mada Palembang dan telah diresmikan pemakaiannya oleh Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama yang diwakili oleh Ketua Pengadilan Tinggi Agama Palembang Bapak Drs. H. Roihan. A. Rasyid, Sm.HK pada tanggal 14 Mei 1979.
- Berdasarkan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1981 tanggal 28 Februari 1981 tentang Klasifikasi Pengadilan Agama/Pengadilan Tinggi Agama se-Indonesia, maka Pengadilan Agama Muara Enim termasuk klasifikasi kelas II/A.
- Kemudian sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama maka kedudukan dan kewenangan Pengadilan Agama bertambah kuat dan sejajar dengan Peradilan-Peradilan lainnya, Peradilan Negeri, Peradilan Tata Usaha dan Mahkamah Militer.
- Pada Tahun 2006 seiring telah satu atapnya peradilan dibawah Mahkamah Agung sesuai dengan amanat UU Nomor 4 dan 5 Tahun 2005 maka Peradilan Agama telah masuk di dalamnya dengan keluarnya UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan dari segi kewenangan absolute telah bertambah yaitu sengketa ekonomi syari’ah yang menunjuk kepropesionalisme aparat peradilan khususnya hakim dan panitera yang terlibat langsung di dalamnya.
- Selanjutnya pada Tahun 2017, berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 37/KMA/SK/II/2017 tanggal 9 Februari 2017, 29 Pengadilan Agama Kelas II, termasuk Pengadilan Agama Muara Enim, mengalami peningkatan status dari Kelas II menjadi Kelas IB. Prosesi peresmian dan tasyakuran peningkatan status ini dihadiri oleh Kepala Badan Urusan Administrasi (Ka. BUA) Mahkamah Agung Republik Indonesia, Dr. Drs. Aco Nur, M.H., serta didampingi oleh Ketua Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Sumatera Selatan, Dr. H. M. Syarif M., S.H., M.H. Pada kesempatan yang sama, dilakukan penandatanganan dan serah terima hibah gedung kantor Pengadilan Agama Muara Enim oleh Bupati Muara Enim, Ir. Muzakir Sai Sohar kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.
...................................................................................................................................................................................................